Beberapa bulan Indonesia seperti terpecah dua kubu, hal ini karena pandangan politik yang berbeda. selain itu banyak “kompor” dan “Biang Onar” untuk memecah belah bangsa ini. dan misi mereka ternyata sukses. di Sosial media terlihat antar warga indonesia saling hujat. tetapi banyak juga yang menyikapi lebih dewasa dan melakukan aksi yang lebih terhormat. Perbedaan pandangan ini akhirnya merembet ke generasi muda kita seperti kisah anak-anak yang tidak boleh berkawan karena beda keyakinan. ah sedih sekali.
Awalnya saya juga merasa bagian dari salah satu kubu itu, mulai menilai, menganalisa dan ikut serta dalam memberikan pandangan pemikiran saya. bisa jadi si kubu A yang benar, atau bisa jadi kubu B yang benar. ah, semakin coba saya pikirkan, energi yang saya keluarkan semakin banyak, saya mulai memilih teman, saya mulai unfollow teman di social media yang tidak sesuai dengan pemikiran saya. tapi memang sebenarnya dengan adanya 2 kubu ini, saya juga banyak belajar bahwa beberapa orang terlahir menjadi manusia yang mudah terprovokasi dan mudah menyalahkan orang lain. beruntung saya selalu diajarkan selalu belajar berfikir objektif, memiliki holicopter view dalam memikirkan sesuatu sehingga kadang melihat teman yang sudah mulai merasa pintar dan benar. lebih baik saya diam.
Tetapi semakin kedepan, kegaduhan semakin menjadi, semua orang merasa paling benar, semua orang merasa paling tahu politik. dan saya merasa juga sudah terlalu banyak mengeluarkan energi disini, sampai akhirnya tersadar. Bahwa yang menjadikan kita semua seperti ini adalah urusan besar yang tidak semudah membalik telapak tangan. kita terlalu banyak memikirkan urusan-urusan besar dan lupa untuk hal kecil yang sebenarnya hal ini yang harus diselesaikan terlebih dahulu.
Tulisan ini saya buat untuk mengajak seluruh saudara saya di tanah air untuk sejenak menundukkan kepala dan melihat saudara-saudara kita yang ada dibawah sana. setelah beberapa hari melakukan perjalanan adventure sendiri dipelosok gunung. perkampungan dikaki gunung. mereka sangat jauh dari gaya hidup masyarakat ibukota.
Anak-anak disana jangankan mendapatkan prestasi di sekolah, untuk mau masuk sekolah atau rajin bersekolah saja sudah hal yang bagus, hal ini saya lihat karena mereka lebih memilih untuk mencari uang di jalur adventure. kenapa ini bisa terjadi. karena mereka tidak tahu apa fungsi sekolah itu sendiri. nah buat kita yang terdidik ayo mulai peduli, dengan langkah nyata. kalian bisa mengunjungi mereka dan memebrikan pengarahan kepada mereka dan membantu mereka menjadi anak yang memiliki cita-cita dalam hidupnya
Selain kondisi anak-anak yang tidak antusias sekolah, saya pernah menemukan sebuah desa yang diisi oleh 6KK dan desa itu hanya berjarak 50km dari Jakarta. di Desa itu anak-anaknya harus menempuh jalan 10km untuk dapat sekolah. atau mungkin anak-anak disana tidak sekolah. nah alangkah baiknya kita coba menunduk sebentar dan mencoba peduli kepada mereka, tunjukkan langkah nyata dengan mencoba menjadi guru di desa itu. dan yang miris di desa yang hanya berjarak 50km dari Jakarta ini belum dialiri listrik oleh PLN, mereka membuat listrik dari tenaga air yang terdapat di danau desa mereka.
Jadi Pesan saya. ayo mari kita mulai mencoba menunduk sebentar, menjadikan saudara-saudara di NKRI minimal merasakan kebahagiaan yang kita dapat. Urusan Negara biarkan berjalan sesuai apa yang sudah digariskan Tuhan, energi kita sudah hampir habis untuk mengurusi urusan para petinggi negara. saatnya kita yang hanya rakyat jelata ini, bahu membahu sendiri untuk membantu saudara kita yang masih kekurangan.
Sayup-sayup terdengar roda kereta menggiling kerikil, makin lama makin jauh, akhirnya tak terdengar lagi. Annelies dalam pelayaran ke negeri di mana Sri Ratu Wilhelmina bertahta. Kami menundukkan kepala di belakang pintu.
“Kita kalah, Ma,” bisik Minke.
Nyai Ontosoroh menjawab, “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Pramoedya Ananta Toer – Bumi Manusia
Catatan #Waniperih36